Blog

Blogger news

Small text message

Labels

Archives

Blogger templates

WELCOME-WELCOME-WELCOME
Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Translate

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Cerpen (part 2)

Sabtu, 06 April 2013 - - 0 Comments


......Kebetulan aku sudah mengenal mereka berdua diwaktu lomba cerdas cermat mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Kita bertiga satu tim.
“eh Ujang juga dapet beasiswa ke Jakarta?” tanya Dewi dengan senyum manisnya.
“iya wi, Di UI gak nyangka yah kita bisa ketemu lagi”
“kamu ambil apa Jang? Kok kita bertiga bisa samaan sih” tiba – tiba Ali menepuk pundakku.
“Teknik elektro Li, kamu dan dewi ambil apa?”
“Wah Aku juga Teknik Elektro jang, kalo si Dewi katanya ambil sastra tuh”
Delapan jam berlalu dan akhirnya kita sampai di Ibu kota tercinta, ya kota Jakarta. Bayanganku dulu tentang kota ini adalah gedung – gedung indah dan megah, jalanan yang bersih dan rindang akan pepohonan, serta kemakmuran di setiap warganya. Namun semua itu sirna ketika kita dihadang seorang anak yang meminta – minta di tiap perempatan.
Kami diantar dan dicarikan tempat kost untuk kami tinggal. Dan lagi – lagi kami bertiga dapat tempat kost yang sama, aku dan Ali satu kamar, sedangkan si Dewi satu kamar dengan anak Bandung yang juga baru kuliah di UI jurusan sastra dan satu angkatan dengan kita.
Namanya Lidya, katanya si dia anak orang kaya. Tapi dia lebih suka hidup sederhana dan suka berbagi pada sesama. Dia juga cantik, gak kalah cantik sama si Dewi...malah lebih cantik.
Satu bulan berlalu tiap hari kita ber empat selalu bersama. Oiya buat masalah makan, Aku, Ali, dan Dewi dapat jatah dari pemerintah sebesar 600 ribu per bulan. Kalo si Lidya kuliah pake uang keluarganya, jadi makan harus beli sendiri. Tapi karna kita sudah jadi temen dekat, biasanya kita semua suka makan bareng kalo lagi punya uang. Kadang – kadang malah si Lidya yang bayarin.
Di suatu malam, mendadak aku ingat akan desaku yang gelap, desaku yang belum pernah merasakan kehadiran aliran listrik.
“aku kuliah belum sampe dua bulan, tapi kok udah kepikiran sama desa yah”
Akhirnya aku critakan semua keadaan desaku ke teman – temanku. Tiba – tiba muncul ide dari temenku Ali.
“satu bulan lagi kan pak Presiden bakal dateng ke kampus kita, gimana kalo kita besok ungkapin semuanya aja ke pak Presiden”
“boleh juga tuh Li, gimana kalo kita siapin semuanya mulai sekarang sampai sebulan kedepan” kata si Lidya dengan semangat.
“Emang apa yang perlu disiapin??” kata Dewi bingung.

“ya kita siapin aja naskah pidato buat si Ujang, nanti kita atur biar ujang bisa baca tuh tulisan yang isinya kisah desanya si Ujang, biar pak presiden tau kalo ternyata Indonesia belum sepenuhnya merdeka” mendadak si Lidya semangat.
“emangnya bakal ada acara apaan sampe ada presiden segala?”
“aduh Ujang.. Ujang... kan rencananya bakal ada pameran budaya, nah buat acara pembukaannya, kampus kita berencana mengundang Pak Presiden kesini” kata Dewi sambil menepuk pundakku.
“makasih ya kawan, kalian emang temenku yang paling baik” kataku penuh haru.
Pagi akhirnya datang juga, aku, Ali, Dewi, dan Lidya berangkat ke kampus bersama. Kita sengaja datang pagi – pagi karna kita ber empat bakal minta bantuan panitia pameran untuk bekerjasama jalanin misi Desaku tercinta.
Jadi rencananya kita bakal bikin sebuah acara pembukaan pameran jadi semacam acara penyampaian pesan rakyat kecil buat para pemimpin kita.
Dimulai dari pagi ini kita ber empat bagi – bagi tugas. Si Dewi dan Ali bakal masuk ke kepanitiaan buat nyusun jadwal pidatoku buat Bapak presiden, sedangkan aku dan Lidya bakal nyusun naskah pidatonya supaya punya kesan dramatis, puitis, dan tergambar kesengsaraannya.
Langkah pertama, si Dewi bakal ngrayu ketua panitianya biar mereka berdua bisa masuk kepanitiaan.
“Haaai ka Alex, aku,,aku.. boleh ikutan jadi panitia pameran ga?” dengan nada seksi Dewi mulai ngrayu Alex, si ketua panitia.
“em,emmm, boleh kok boleh.. kamu Dewi anak sastra kan? Kebetulan kita masih butuh anggota banyak nih” kata Alex dengan nadanya yang terdengar gugup.
“ooooh kebetulan, temenku ada yang mau ikut juga, namanya Ali anak teknik Elektro”
“wah boleh boleh... dia bisa bantuin kita masalah lightning
“oke ka, kapan kita bisa mulai..?”
“owh. .. besok kalian kesini lagi aja, sekitar jam satu”
“oke kak, makasih” kata Dewi sambil mengajak Alex bersalaman.
Akhirnya jam satu tiba, Ali dan Dewi bersiap pergi unjtuk jadi seorang panitia di acara pameran itu. Dewi yang tadi pagi udah ijin ke Alex langsung mengajukan diri sebagai seksi acara biar bisa nyusun jadwal acaranya. Sedangkan si Ali bakal jadi seksi perlengkapan. Dia yang akan nyiapin semua kebutuhan pameran dan tentunya keperluan buat pidato.
Aku dan Lidya akhirnya bisa menyelesaikan pidato yang cukup dramatis dan sangat nelangsani. Dan untuk masalah ijin, kita sudah dapat ijin dari ketua panitia dan dari Pek Rektor yang baik hati.
Sudah hampir sebulan persiapan kami buat nyiapin acara ini. Dan sekarang hari terakhir buat kita selesein semuanya.
“Ayo Jang semangat besok kamu bakalan menentukan nasib desamu di hadapan semuanya” kata Lidya dengan semangat.
“Iya Jang aku dan Ali juga mendukungmu, kita sudah siapin semuanya yang terbaik”
Thanks ya teman kalian emang yang terbaik deh” kataku sambil memeluk mereka semua.
Akhirnya hari yang dinanti tiba juga, yup.. pagi ini adalah acara pembukaan pameran dan akan jadi sebuah acara pidato wakil rakyat tentunya. Aku sudah bersiap untuk pidatoku nanti, dan teman – temanku sudah duduk di kursi depan panggung untuk mendengar aksiku.
Setelah Pak presiden berpidato dan dilanjutkan dengan acara – acara yang lainnya, akhirnya giliranku tiba. Tak ada yang menyangka kalo akan ada anak sepertiku yang akan berpidato dalam sebuah acara pameran.
“.................................................dan demi kesejahteran desa saya, saya mohon dengan sangat bahwa Bapak Presiden yang terhormat bersedia berkunjung ke desa kami dan perbaiki semuanya. Kami hanya butuh aliran listrik, kami butuh untuk menerangi kami dari kegelapan malam yang mencekam, kami butuh untuk melindungi tidur bayi desa yang selalu menangis karna kegelapan, kami butuh untuk melindungi perawan – perawan desa yang pulang larut malam dari pekerjaannya di kota ....................”
Setelah pidatoku tadi Pak presiden datang menghampiriku.
“Nak besok kita bersama pergi ke kampung halamanmu” kata Pak presiden sambil menepuk pundakku.
Serentak semua tamu undangan yang hadir berdiri dan bertepuk tangan atas apa yang telah aku lakukan tadi.
Malam harinya aku dan teman – teman berencana melakukan sebuah syukuran atas keberhasilan aksi kita tadi. Kami pergi ke tempat makan dan kali ini si Lidya yang membayar semuanya.
“teman – teman thanks ya buat semuanya, kalian itu hebat! Pinter! Pokoknya siiip deh...” kataku dengan bangga.
“santai deh Jang, kita kan teman.... harus saling membantu dong” lanjut si Ali menjawab ucapanku.
“iya Jang apalagi kita dari kota yang sama, mana mungkin si kita biarin ada desa di kota kita yang masih menderita” tambah Dewi.
“okeee..okeee. sekarang kita rayakan semuanya, kalian pesen aja.. malam ini aku yang bayarin deh...” kata si Lidya penuh semangat.
Esok akhirnya datang juga, seperti yang di janjikan Pak presiden, saya di undang ke istana negara oleh Pak presiden dan kita bersama – sama pergi ke desa. Untuk masalah ini teman – temanku tidak ikut mendampingiku. Selama di perjalanan kami mengobrol masalah desaku dan kehidupan orang – orang di desa. Pak presiden lumayan kaget atas semua critaku, dan semakin ingin cepat – cepat menginjakkan kaki di sana.
Sesampainya di kota, kami di sambut baik oleh orang – orang di pendopo. Bahkan aku disambut bagai raja disini. Menurut pandangan saya Pak bupati terlihat malu, karna tidak bisa mengatasi masalah di daerahnya dan seorang presiden harus turun tangan langsung. Tapi apa mau dikata, kenyataannya desaku memang belum ada perkembangan.
Akhirnya kami berangkat lagi ke desa. Jarak desaku dari pusat kota memang cukup jauh. Setelah menempuh kurang lebih 1 jam, kami sampai di desa dan langsung ke kantor kepala desa dimana embahku bekerja. Kami bertemu dengan embah disana, betapa bangganya embah ketika melihatku datang bersama Pak presiden.
Ujang, koe bali... nggawa Pak presiden maning... ana apa kie?
“niki mbah, Pak presiden badhe mriksani desa”
Setelah pertemuan Embah dengan Pak presiden, akhirnya desaku akan dialiri listrik sesuai janji Pak presiden. Dan setelah aku, embah, dan Pak presiden muter – muter desa. Kami akhirnya bersiap untuk kembali ke Jakarta.
Terwujud sudah mimpiku, mimpi bayi yang menangis di malam hari, mimpi perawan desa yang selalu pulang malam dari pabrik di kota, dan mimpi semua warga desa untuk menikmati listrik yang kini sudah datang dan menerangi desa. 

This entry was posted on 20.46 and is filed under edukasi . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar:

Sabtu, 06 April 2013

Cerpen (part 2)


......Kebetulan aku sudah mengenal mereka berdua diwaktu lomba cerdas cermat mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Kita bertiga satu tim.
“eh Ujang juga dapet beasiswa ke Jakarta?” tanya Dewi dengan senyum manisnya.
“iya wi, Di UI gak nyangka yah kita bisa ketemu lagi”
“kamu ambil apa Jang? Kok kita bertiga bisa samaan sih” tiba – tiba Ali menepuk pundakku.
“Teknik elektro Li, kamu dan dewi ambil apa?”
“Wah Aku juga Teknik Elektro jang, kalo si Dewi katanya ambil sastra tuh”
Delapan jam berlalu dan akhirnya kita sampai di Ibu kota tercinta, ya kota Jakarta. Bayanganku dulu tentang kota ini adalah gedung – gedung indah dan megah, jalanan yang bersih dan rindang akan pepohonan, serta kemakmuran di setiap warganya. Namun semua itu sirna ketika kita dihadang seorang anak yang meminta – minta di tiap perempatan.
Kami diantar dan dicarikan tempat kost untuk kami tinggal. Dan lagi – lagi kami bertiga dapat tempat kost yang sama, aku dan Ali satu kamar, sedangkan si Dewi satu kamar dengan anak Bandung yang juga baru kuliah di UI jurusan sastra dan satu angkatan dengan kita.
Namanya Lidya, katanya si dia anak orang kaya. Tapi dia lebih suka hidup sederhana dan suka berbagi pada sesama. Dia juga cantik, gak kalah cantik sama si Dewi...malah lebih cantik.
Satu bulan berlalu tiap hari kita ber empat selalu bersama. Oiya buat masalah makan, Aku, Ali, dan Dewi dapat jatah dari pemerintah sebesar 600 ribu per bulan. Kalo si Lidya kuliah pake uang keluarganya, jadi makan harus beli sendiri. Tapi karna kita sudah jadi temen dekat, biasanya kita semua suka makan bareng kalo lagi punya uang. Kadang – kadang malah si Lidya yang bayarin.
Di suatu malam, mendadak aku ingat akan desaku yang gelap, desaku yang belum pernah merasakan kehadiran aliran listrik.
“aku kuliah belum sampe dua bulan, tapi kok udah kepikiran sama desa yah”
Akhirnya aku critakan semua keadaan desaku ke teman – temanku. Tiba – tiba muncul ide dari temenku Ali.
“satu bulan lagi kan pak Presiden bakal dateng ke kampus kita, gimana kalo kita besok ungkapin semuanya aja ke pak Presiden”
“boleh juga tuh Li, gimana kalo kita siapin semuanya mulai sekarang sampai sebulan kedepan” kata si Lidya dengan semangat.
“Emang apa yang perlu disiapin??” kata Dewi bingung.

“ya kita siapin aja naskah pidato buat si Ujang, nanti kita atur biar ujang bisa baca tuh tulisan yang isinya kisah desanya si Ujang, biar pak presiden tau kalo ternyata Indonesia belum sepenuhnya merdeka” mendadak si Lidya semangat.
“emangnya bakal ada acara apaan sampe ada presiden segala?”
“aduh Ujang.. Ujang... kan rencananya bakal ada pameran budaya, nah buat acara pembukaannya, kampus kita berencana mengundang Pak Presiden kesini” kata Dewi sambil menepuk pundakku.
“makasih ya kawan, kalian emang temenku yang paling baik” kataku penuh haru.
Pagi akhirnya datang juga, aku, Ali, Dewi, dan Lidya berangkat ke kampus bersama. Kita sengaja datang pagi – pagi karna kita ber empat bakal minta bantuan panitia pameran untuk bekerjasama jalanin misi Desaku tercinta.
Jadi rencananya kita bakal bikin sebuah acara pembukaan pameran jadi semacam acara penyampaian pesan rakyat kecil buat para pemimpin kita.
Dimulai dari pagi ini kita ber empat bagi – bagi tugas. Si Dewi dan Ali bakal masuk ke kepanitiaan buat nyusun jadwal pidatoku buat Bapak presiden, sedangkan aku dan Lidya bakal nyusun naskah pidatonya supaya punya kesan dramatis, puitis, dan tergambar kesengsaraannya.
Langkah pertama, si Dewi bakal ngrayu ketua panitianya biar mereka berdua bisa masuk kepanitiaan.
“Haaai ka Alex, aku,,aku.. boleh ikutan jadi panitia pameran ga?” dengan nada seksi Dewi mulai ngrayu Alex, si ketua panitia.
“em,emmm, boleh kok boleh.. kamu Dewi anak sastra kan? Kebetulan kita masih butuh anggota banyak nih” kata Alex dengan nadanya yang terdengar gugup.
“ooooh kebetulan, temenku ada yang mau ikut juga, namanya Ali anak teknik Elektro”
“wah boleh boleh... dia bisa bantuin kita masalah lightning
“oke ka, kapan kita bisa mulai..?”
“owh. .. besok kalian kesini lagi aja, sekitar jam satu”
“oke kak, makasih” kata Dewi sambil mengajak Alex bersalaman.
Akhirnya jam satu tiba, Ali dan Dewi bersiap pergi unjtuk jadi seorang panitia di acara pameran itu. Dewi yang tadi pagi udah ijin ke Alex langsung mengajukan diri sebagai seksi acara biar bisa nyusun jadwal acaranya. Sedangkan si Ali bakal jadi seksi perlengkapan. Dia yang akan nyiapin semua kebutuhan pameran dan tentunya keperluan buat pidato.
Aku dan Lidya akhirnya bisa menyelesaikan pidato yang cukup dramatis dan sangat nelangsani. Dan untuk masalah ijin, kita sudah dapat ijin dari ketua panitia dan dari Pek Rektor yang baik hati.
Sudah hampir sebulan persiapan kami buat nyiapin acara ini. Dan sekarang hari terakhir buat kita selesein semuanya.
“Ayo Jang semangat besok kamu bakalan menentukan nasib desamu di hadapan semuanya” kata Lidya dengan semangat.
“Iya Jang aku dan Ali juga mendukungmu, kita sudah siapin semuanya yang terbaik”
Thanks ya teman kalian emang yang terbaik deh” kataku sambil memeluk mereka semua.
Akhirnya hari yang dinanti tiba juga, yup.. pagi ini adalah acara pembukaan pameran dan akan jadi sebuah acara pidato wakil rakyat tentunya. Aku sudah bersiap untuk pidatoku nanti, dan teman – temanku sudah duduk di kursi depan panggung untuk mendengar aksiku.
Setelah Pak presiden berpidato dan dilanjutkan dengan acara – acara yang lainnya, akhirnya giliranku tiba. Tak ada yang menyangka kalo akan ada anak sepertiku yang akan berpidato dalam sebuah acara pameran.
“.................................................dan demi kesejahteran desa saya, saya mohon dengan sangat bahwa Bapak Presiden yang terhormat bersedia berkunjung ke desa kami dan perbaiki semuanya. Kami hanya butuh aliran listrik, kami butuh untuk menerangi kami dari kegelapan malam yang mencekam, kami butuh untuk melindungi tidur bayi desa yang selalu menangis karna kegelapan, kami butuh untuk melindungi perawan – perawan desa yang pulang larut malam dari pekerjaannya di kota ....................”
Setelah pidatoku tadi Pak presiden datang menghampiriku.
“Nak besok kita bersama pergi ke kampung halamanmu” kata Pak presiden sambil menepuk pundakku.
Serentak semua tamu undangan yang hadir berdiri dan bertepuk tangan atas apa yang telah aku lakukan tadi.
Malam harinya aku dan teman – teman berencana melakukan sebuah syukuran atas keberhasilan aksi kita tadi. Kami pergi ke tempat makan dan kali ini si Lidya yang membayar semuanya.
“teman – teman thanks ya buat semuanya, kalian itu hebat! Pinter! Pokoknya siiip deh...” kataku dengan bangga.
“santai deh Jang, kita kan teman.... harus saling membantu dong” lanjut si Ali menjawab ucapanku.
“iya Jang apalagi kita dari kota yang sama, mana mungkin si kita biarin ada desa di kota kita yang masih menderita” tambah Dewi.
“okeee..okeee. sekarang kita rayakan semuanya, kalian pesen aja.. malam ini aku yang bayarin deh...” kata si Lidya penuh semangat.
Esok akhirnya datang juga, seperti yang di janjikan Pak presiden, saya di undang ke istana negara oleh Pak presiden dan kita bersama – sama pergi ke desa. Untuk masalah ini teman – temanku tidak ikut mendampingiku. Selama di perjalanan kami mengobrol masalah desaku dan kehidupan orang – orang di desa. Pak presiden lumayan kaget atas semua critaku, dan semakin ingin cepat – cepat menginjakkan kaki di sana.
Sesampainya di kota, kami di sambut baik oleh orang – orang di pendopo. Bahkan aku disambut bagai raja disini. Menurut pandangan saya Pak bupati terlihat malu, karna tidak bisa mengatasi masalah di daerahnya dan seorang presiden harus turun tangan langsung. Tapi apa mau dikata, kenyataannya desaku memang belum ada perkembangan.
Akhirnya kami berangkat lagi ke desa. Jarak desaku dari pusat kota memang cukup jauh. Setelah menempuh kurang lebih 1 jam, kami sampai di desa dan langsung ke kantor kepala desa dimana embahku bekerja. Kami bertemu dengan embah disana, betapa bangganya embah ketika melihatku datang bersama Pak presiden.
Ujang, koe bali... nggawa Pak presiden maning... ana apa kie?
“niki mbah, Pak presiden badhe mriksani desa”
Setelah pertemuan Embah dengan Pak presiden, akhirnya desaku akan dialiri listrik sesuai janji Pak presiden. Dan setelah aku, embah, dan Pak presiden muter – muter desa. Kami akhirnya bersiap untuk kembali ke Jakarta.
Terwujud sudah mimpiku, mimpi bayi yang menangis di malam hari, mimpi perawan desa yang selalu pulang malam dari pabrik di kota, dan mimpi semua warga desa untuk menikmati listrik yang kini sudah datang dan menerangi desa. 

0 komentar:

Posting Komentar